Kisah Cinta Aiman

Cerpen: Hafis Azhari ______________________________________________________________________

Kehidupan cinta yang dialami keluarga Aiman agak aneh, misterius, dan membingungkan. Tidak kepikiran oleh otak Aiman. Selalu saja ada hubungannya dengan kecelakaan atau tragedi, seperti keserempet motor, jatuh dari sepeda, atau bahkan tenggelam di dasar sungai. Bila mengingat-ingat hal itu, kadang Aiman tak bisa tidur semalaman. Terlebih ketika ia beranjak di kelas tiga SMU. Kadang pikiran aneh itu terbayang-bayang hingga tak menyadari kalau jarum jam sudah menunjukkan Pk. 5.00 dini hari, dan azan subuh bertalu-talu di segenap penjuru.

Suatu hari, ayah Aiman bercerita tentang masa lalunya, ketika ia pulang sehabis memetik buah kelapa di ladang. Seorang ibu berteriak-teriak minta tolong karena anak gadisnya tenggelam di sungai Kalitimbang, satu-satunya sungai yang ada di sekitar desanya. Sang ayah berlari ke arah sungai, tanpa pikir panjang melompat ke dasar sungai dan seketika mengamit lengan dan berhasil mengangkat tubuh si gadis. Ia masih bisa diselamatkan, dan lima tahun kemudian, gadis naas itu resmi menjadi ibu Aiman hingga saat ini.

Yang tak habis pikir cerita nenek Aiman, yang pulang dari Sekolah Rakyat (SR), lalu sepeda ontel tua menyerempet tubuhnya ketika melaju dari arah pasar lama. Ia tersungkur ke trotoar jalan, dan betisnya lecet. Si pengendara sepeda berbaik hati menyobek ujung kemejanya, kemudian mengikatkan pada luka di betisnya untuk menghentikan darah keluar. Lalu, siapa yang bisa menyangka, kalau tiga tahun kemudian, lelaki sembrono itu resmi menjadi kakek Aiman.

Kadang kakeknya menambah-nambah bumbu penyedap pada kisah yang dituturkan si nenek. Konon, ketika kakeknya berkorban mengikatkan ujung kemeja yang dirobeknya, rasa perih dan nyeri pada lutut si gadis tiba-tiba hilang seketika. Walah welah… kenapa bagian ini si kakek yang justru menceritakannya. Dasar, berlagak sok pahlawan (gerutu Aiman). Emangnya dia sukarelawan bencana alam apa?

Lain lagi cerita Mang Uding, paman Aiman, yang suka menyela di tengah-tengah kisah yang dituturkan ibunya. Konon, ketika usianya beranjak 18 tahun, ia begitu semaput dan tergila-gila pada kecantikan Bibi Suti ketika menghadiri acara pengajian di masjid Al-Munawwar. “Tapi, saya lupa apa yang terjadi waktu itu,” sambil ketawa cengengesan, “apakah saya yang terjatuh ataukah Bi Suti yang menabrak. Yang jelas, saya tiba-tiba jatuh pingsan karena kecantikannya, dan ketika tersadar tahu-tahu sudah ada di kursi pelaminan….”

Aiman tertawa terpingkal-pingkal mendengar cerita Mang Uding, hingga ayahnya ikut tersenyum. Tetapi, si istri kontan merajuk dan memukul bahunya agar jangan mempedulikan omongan Mang Uding yang dianggapnya senewen dan sableng.

Pada suatu hari, Aiman merasa bahwa kini gilirannya sudah tiba. Hari Minggu, ia sengaja membolos sekolah madrasah,dan dalam hati menertawakan anak-anak kecil yang tersiksa di bangku madrasah, mendengar wejangan dan kisah-kisah Nabi yang dituturkan Ustaz Syamsudin. Kadang si ustaz bercerita tentang bidadari-bidadari cantik di alam surga kelak, apabila kita melaksanakan amal-amal saleh selama hidup di dunia ini.

Aiman tersenyum ketika Mang Uding menunjukkan sikap yang kurang bersahabat pada sang ustaz dan guru agama itu. Paman Aiman itu memiliki enam anak, dua perempuan dan empat laki-laki. Ia juga memiliki senapan pemburu yang dibeli dengan harga murah dari seorang teman kerjanya. Kadang ia tertawa terkekeh-kekeh menyaksikan Ustaz Syamsudin pulang dari madrasah dengan menampakkan gulungan sarungnya yang agak kedodoran. Tetapi, istrinya selalu memperingatkan sikap tidak sopannya di hadapan seorang guru agama, meskipun tetap saja ia tak peduli, terus saja tertawa terkekeh-kekeh.

***

Siang itu, seorang gadis cantik berseragam minimarket tiba-tiba jatuh tersungkur, ketika ia keluar dari pintu mobil angkot. Nah, inilah dia giliranku (pikir Aiman). Gadis itu bangkit sambil melangkah agak sempoyongan menuju bangku di sekitar trotoar jalan. Aiman segera menghambur untuk menolong si gadis, tetapi ia sudah terlanjur duduk di bangku trotoar. Ia mengenakan kerudung hitam dengan model hijab yang serasi dengan bentuk wajahnya yang oval. Aiman menanyakan apakah ia merasa sakit. Ia hanya menujukkan sedikit luka di bagian sikunya, dan kontan Aiman menuju warung terdekat untuk membeli kapas dan betadine.

Ia memperkenalkan diri setelah Aiman menanyakan namanya. Anna Fatiha, nama yang cukup menarik bagi Aiman. Dan kerudung hijab yang dikenakannya menunjukkan bahwa ia seorang religius. Keesokannya, Aiman mendatangi minimarket tempatnya bekerja, berusaha untuk semakin mengenalnya lebih jauh. Konon, sebelum kerja di minimarket, gadis itu pernah mondok di pesantren La Tansa, Banten, dan itulah yang membuat keyakinan Aiman semakin bulat bahwa gadis itu mesti seorang santriwati yang religius dan salehah.

Kadang Aiman menatap wajah Anna erat-erat. Sangat cantik dan begitu menawan. Sosoknya mengingatkan dirinya pada kisah kenabian yang diutarakan Ustaz Syamsudin di sekolah madrasah. Misalnya tentang perjalanan cinta Nabi Yusuf dengan Siti Julaekha, bahkan kisah tentang Nabi Sulaiman dengan Ratu Bilqis. Ketika menatap wajahnya, seakan Aiman mengerti mengapa semua laki-laki ingin masuk surga dan berjumpa dengan bidadari-bidadari cantik seperti dirinya.

“Anna, apakah kamu kenal Ustaz Syamsudin?” tanyanya suatu kali.

“Enggak, emang kenapa?”

Waduh, Aiman tersadar, ngapain juga menanyakan pertanyaan aneh itu, hingga ia pun tersipu malu. Anna,” sapa Aiman mengalihkan pembicaraan, “sudah berapa lama kamu kerja di minimarket ini?”

“Dua tahun, emang kenapa?” katanya balik bertanya.

“Ah, enggak, cuma pengen tahu aja.”

“Eh, kamu anaknya Bu Hindun, ya?” sahut perempuanitu dengan mata berkilat bagaikan kilauan permata. Tiba-tiba rasa takut menyelimuti Aiman ketika ia mengenal sosok ibunya. Namun, karena ia tetap tersenyum dengan lembut, ketakutan itu seketika pergi secepat kedatangannya. 

            Konon, ia pernah melihat Aiman memboncengi ibunya dengan kendaraan bermotor. Ia pernah mengantarnya mengikuti pengajian Jumat di masjid Nurul Huda di kampung seberang. Rupanya ibu Aiman kenal akrab dengan ibunya Anna, juga mengikuti arisaan dalam satu kelompok pengajian Nurul Huda. Jadi, dia pernah melihat Aiman mengantar si ibu sampai di luar pagar rumahnya, ketika rumah ibu Anna mendapat giliran untuk tempat arisan.

Pada hari perayaan maulid Nabi, konon Anna juga pernah menyaksikan penampilan Aiman membacakan puisi di panggung yang didirikan di halaman kelurahan. Ustaz Syamsudin pernah membuatkan bait-bait puisi berjudul “Siti Aisyah”, seorang istri Nabi yang memesona dan cantik jelita. Kini, Aiman membayangkan sosok Siti Aisyah itu seakan menjelma pada diri Anna Fatiha. Meski kemudian, Mang Uding berseloroh ketus, “Ngapain juga Si Syamsudin itu menyuruh baca puisi tentang Siti Aisyah,” sambil tertawa sinis ia pun melanjutkan, “wong dia sendiri enggak pernah kenal sama perempuan cantik?”

 “Tapi dia kan seorang ustaz, guru agama, tentu dia paham tentang kisah-kisah para Nabi?” bantah ibu Aiman.

Bibi Suti ikut tertawa membalas keberatan Mang Uding. Kemudian, ia pun bercerita perihal masa lalunya yang pernah memerankan sosok Julaekha yang diperistri oleh Nabi Yusuf yang tampan dan rupawan. Sementara ibu Aiman, pernah memerankan penampilan Ratu Bilqis yang menikah dengan Nabi Sulaiman berabad-abad silam. Jika teringat hal itu, Aiman membayangkan bahwa Anna-lah yang paling cocok untuk menampilkan Ratu Bilqis maupun Julaekha. Senyumnya, matanya, segala sesuatu mengenai dirinya sangat menyerupai sosok-sosok yang diceritakan Ustaz Syamsudin perihal wanita-wanita cantik di masa kerasulan.

Di kegelapan malam, Aiman merasakan sebuah tangan hangat mengelus bahunya penuh kasih, lalu ia mendengar suara ibunya, “Ada apa, Man, kenapa kamu belum juga tidur?”

Enggak apa-apa, Bu, Aiman cuma belum ngantuk saja.”

             “Tapi ini sudah larut malam, Nak? Sebentar lagi waktu subuh.”

Aiman bangkit dalam posisi duduk menghadap si ibu, “Bu, Aiman mau tanya, apakah Ibu masih menyimpan foto sewaktu Ibu memerankan Ratu Bilqis itu?”

“Ooh, ada apa, Nak, kenapa kamu tanya-tanya foto Ibu waktu masih muda? Itu sudah lama sekali.”

Untungnya si ibu tidak mendengar denyutan di kepalanya, sehingga Aiman tak perlu menjelaskan apa-apa yang terjadi pada dirinya, serta apa-apa yang menggelenyar dalam tubuhnya. “Ya, sudahlah, Ibu tidak akan mengerti,” kata Aiman dalam hati. Ini adalah urusan laki-laki, dan boleh jadi hanya bisa dipahami oleh otak pikiran kaum lelaki.

Setelah sarapan pagi, keluarga Aiman duduk-duduk di halaman rumah. Sekali lagi, ibunya menegur apa yang membuat Aiman merasa gundah dan galau semalaman.

“Ada yang mendengung di kepala,” kata Aiman beralasan.

            “Apaan, nyamuk?” timpal ayahnya.

           “Mungkin dia merasa bumi bergoyang atau semacam likuifaksi?” seloroh Mang Uding.

“Ah, sudahlah, mungkin dia perlu mandi, ayo mandi dulu, Man,” kata si ibu.

“Saya kira bukan urusan mandi. Mungkin dia salah makan,” lagi-lagi komentar Mang Uding dengan lagak seorang psikiater dan konsultan kesehatan. “Apa yang kamu makan kemarin, sampai-sampai perutmu terasa mulas?”

Aiman ngeloyor pergi meninggalkan mereka, lalu masuk kolam dan mandi dalam waktu yang cukup lama.

***

Siang hari Aiman belanja beberapa cemilan di minimarket. Ia berjumpa Anna Fatiha dan tersenyum sendiri seperti orang gila. Wajah Anna lagi-lagi mengingatkan dirinya pada sosok Siti Aisyah dan Ratu Bilqis yang dikisahkan Ustaz Syamsudin. Kepalanya seketika terasa pening dan nyut-nyutan. Apakah diakibatkan oleh nyamuk atau kepak sayapRatu Peri atau Bidadari cantik dari alam surga? Lalu, samar-samar ia mendengar Anna berbicara pada seorang pelanggan.

Karena ia lebih menyibukkan diri melayani pelanggan ketimbang dirinya, maka Aiman undur diri meninggalkan minimarket. Seekor kucing belang bulukan sedang menjilati tubuhnya di depan pintu utama, dan ingin sekali ia menendang keras-keras binatang itu.

“Kepalanya sedang mumet,” kata sang ayah di sore hari.

“Bukan soal kepala, tapi di sini,”Mang Uding menunjuk ke dada, “Itu lihat saja jerawatnya pada keluar di jidat dan pipinya.”

Sebodo amat. Aiman tidak mau mempedulikan omongan mereka. Percuma saja walaupun dijelaskan panjang-lebar, mereka tidak bakal ngerti apa yang sedang menggelayut di pikirannya. Berdasarkan pengalaman banyak orang, menghadapi hal-hal semacam ini lebih baik memilih diam. Jangan banyak komentar. Wis lah, pokoknya diam saja (pikirnya).

Malam itu Aiman menginap di rumah Bibi Suti, kemudian mencoba membahasnya bersama Mang Uding. “Mang, kalau kawin dan punya anak itu, apakah gampang?”

Dia menghela nafas panjang, lalu jawabnya, “Yaa, gampang-gampang susah…”

“Tolong jawab yang benar, Mang, saya tanya serius nih…”

“Oke begini,” Mang Uding membetulkan posisi duduknya, Kawin itu mudah dan enak sekali.Tetapi mempunyai anak-anak, wah… berat sekali…”

“Berat sekali… maksudnya?”

Suaranya mendesah sambil menerawang, “Harus melibatkan campur-tangan dan pertolongan Tuhan…”

Aiman agar terkesiap, lalu tanyanya sekali lagi,”Apakah Tuhan menolong Mamang selama ini… apakah Tuhan menolong Ayah juga?”

“Tentu saja Tuhan menolong ayahmu, Man. Kalau tidak, kamu sudah jadi apa sekarang ini?”

Kadang Aiman bertanya-tanya tentang pengaruh menjadi seorang religius dalam kaitannya dengan kehidupan rumah-tangga. Apakah ada hubungannya, ataukah tidak? Memang tak perlu disangsikan lagi, selama ini ayah dan ibunya rajin melaksanakan sembahyang. Mang Uding meskipun ibadahnya belang-bonteng, tapi ia pun pernah bercerita menyumbangkan pendingin ruangan untuk sarana masjid. Kemudian,Aiman pun tertawa geli membayangkan Ustaz Syamsudin yang kerjaannya mengajar ngaji dan molor di masjid, seandainya dia harus mengasuh dan membesarkan enam anak-anak seperti halnya Mang Uding. Apa jadinya?

Di tempat tidur, Aiman membayangkan wajah Anna, dan suatu saat nanti akan ia tunjukkan bahwa dirinya sanggup menjadi seorang religius, dan rajin melakukan salat. Aiman akan meyakinkan dirinya bahwa ia mampu menjadi orang yang tekun beribadah. Kalau kami berdua sama-sama religius (demikian pikirnya), tentu Tuhan akan menyatukan kami sampai akhir hayat, kemudian berjumpa lagi di alam surga kelak.

Suatu sore, ketika Aiman berbincang-bincang dengan Anna di pelataran minimarket, tiba-tiba muncul seorang lelaki berkumis mengenakan kemeja rapi, lalu Anna mengenalkan pada Aiman sebagai sahabatnya. Pemuda berkumis itu bernama Hendra. Mereka pun berbincang-bincang dalam waktu yang cukup lama, kemudian masuk ke minimarket. Aiman masuk sambil memilah-milih beberapa minuman juice yang terpajang di kulkas kaca yang menempel di dinding. Dari ekor matanya, terlihat saat Hendra sedang membelikan Anna sebotol minyak wangi dan beberapa alat kosmetik. Seketika Aiman bertanya-tanya dalam hati, siapakah gerangan lelaki berkumis itu? Sahabat, sekadar kawan, ataukah “teman”.

DarahAimanmendidih saat melihat mereka bersenda-gurau sambil ketawa-ketiwi. Ingin sekali Aiman melempar muka Hendra dengan sekotak juice, tetapi ia mengurungkannya. Aiman ngeloyor pergi dan keluar lewat pintu utama minimarket. Seekor kucing belang sedang duduk sambil menggaruk-garuk tubuhnya di depan pintu. Ekornya panjang menjuntai ke lantai, kemudian ia pun menginjaknya keras-keras hingga mengeong-ngeong dan lari terbirit-birit.

***

Siang yang terik dan panas menyengat. Aiman melaksanakan salat Jumat bersama ratusan jamaah yang kebanyakan berusia lanjut dan dewasa. Ia mendengar wejangan pengkhotbah mengenai ketakwaan dan kesabaran. Bahwa jika seorang hamba Tuhan konsisten di jalan ketakwaan, kelak Tuhan akan mengganjarnya dengan kebaikan pula, bahkan sesuatu yang lebih baik dari apa-apa yang kita harapkan. Aiman ingin sekali memprotes sang pengkhotbah, tetapi bagaimanapun khotbah Jumat harus disampaikan sesuai aturan protokoler, sehingga tak ada ruang dialog maupun diskusi yang bersifat paralel dan horisontal.

Selepas salat Jumat, ia berjumpa dengan Yanto, teman lamanya sewaktu duduk di SMP, kemudian ia melanjutkan masa SMU di wilayah Cengkareng, Jakarta Barat. Mereka berbincang lama sambil melepas rasa rindu, kemudian Yanto pun mengajak Aiman ke Pasar Baru, sambil minum-minum di sebuah café. Di tempat itu, Yanto didatangi oleh dua orang temannya yang membawa tas plastik berisi lima botol bir yang dibelinya entah dari mana.

Aiman pernah mencoba meminum bir beberapa tahun lalu, ketika diajak seorang kakak kelas sewaktu kenaikan kelas dua SMU. Tetapi waktu itu, Aiman tidak kuat untuk meminum barang satu gelas pun. Beda dengan kali ini di dalam café bersama Yanto dan dua temannya. Setelah Aiman menenggak satu botol, sesuatu yang sangat panas terasa mengaliri tenggorokannya. Rasanya ada sebuah lentera yang menyala menyumbat kerongkongannya, hingga mengalir ke bawah, menjalar ke sekujur tubuh, lalu terasa panas dan pening menyengat di sekujur kepalanya. Namun lama kelamaan, ia merasa kepalanya terasa lebih enteng dan ringan sedikit.

Setelah dua teman Yanto berpamitan dan keluar café, masih ada satu botol lagi tersisa di dalam plastik dan Aiman pun menghabiskannya dengan sekali tenggakan. Aiman masih bertahan selama setengah jam sambil bercanda-ria bersama Yanto. Kepala terasa kliyengan dan mata berkunang-kunang tetapi ia berusaha untuk tidak manampakkannya. Tak berapa lama, Yanto pun pamit seraya membayar cemilan dan kopi yang terhidang di meja, meski mereka tak menyentuhnya sama sekali.

Aiman melangkah keluar café dengan agak sempoyongan, kemudian menyetop angkot di pinggir jalan. Setelah duduk di bangku mobil, si sopir menanyakan mau ke mana tujuannya, tetapi Aiman hanya menatap mata sopir dengan garang, dan tidak menjawab. Mobil terus melaju ke depan sesuai dengan jalurnya. Kepala Aiman terasa nyut-nyutan dan mata masih berkunang-kunang.

Ketika angkot melintasi minimarket, tiba-tiba matanya seperti menangkap sesuatu di kejauhan. Seketika Aiman berteriak, “Stop!” Dan sopir pun mengerem dan menghentikan mobilnya. Ia pun membayar tanpa meminta kembalian, lalu melangkah cepat menuju minimarket. Langkah kakinya masih sempoyongan hingga tubuhnya hampir rubuh ketika menaiki beberapa anak tangga menuju pintu minimarket. Seekor kucing belang seakan menatap mata Aiman terheran-heran.

Segera ia mendorong pintu utama dan masuk ke dalam. Seketika sorotan matanya  terpancang pada wajah seorang lelaki berkumis tengah berbincang-bincang dengan si cantik Anna Fatiha, yang mengenakan seragam oranye minimarket, dihiasi kerudung hijabnya yang menawan.

“He, Man, mau ke mana kamu?” tanya Anna sambil menoleh ke arahnya.

“Ah jangan pura-pura enggak tahu kamu, Anna, dan ini Hendra, mau ngapain juga siang-siang datang ke minimarket ini?” Aiman menodongkan telunjuk ke muka Hendra.

“Saya ke sini karena ada keperluan yang harus dibeli,” jawab Hendra, “tapi bukankah saya melihat kamu waktu salat Jumat tadi, sambil duduk khusuk mendengarkan khotbah Jumat?”

Aiman tidak menanggapi omongannya. Kepala masih kliyengan, dan mata semakin berkunang-kunang. Pengaruh minuman keras semakin membakar isi kepalanya, hingga berhamburan kata-kata keluar tak terkontrol:  “Dan kamu Anna Fatiha… manis sekali dengan jilbab hitam dan seragam oranye itu… bagaikan bidadari cantik di surga, yang duduk menemani saya di atas dipan dengan pemandangan rerumputan hijau serta sungai-sungai yang jernih airnya mengalir… oh, bukankah saya ini seorang penyair dan pujangga… ooohhh… bukankah saya ini seorang binatang jalang… ooohhh….”

Para pelanggan minimarket diam terkesima, melongo, terbengong-bengong. Sama sekali mereka tak mengerti apa yang sedang terjadi.

 “Sekarang satu pertanyaan buat Hendra,” teriak Aiman, “apakah kamu pernah mengobati seorang bidadari cantik yang terjatuh dari angkot, lalu membelikannya obat di warung terdekat? Ayo jawab!”

Hendra makin terheran-heran dengan dahi mengerut. Anna berusaha menengahi suasana, melihat gelagat amarah yang menghamburkan kata-kata tak senonoh itu. Ia mengamit lengannya dan menuntunnya agar keluar dari ruang minimarket. Kontan Aiman menolak. Rasa jengkel semakin bergejolak dan membuncah. Bagi Aiman, sang bidadari cantik itu rupanya memihak orang lain dan bukan menunjukkan dukungan pada dirinya.

“Oke, sekarang saya mau mengajukan pertanyaan yang paling terakhir… Hendra, apakah kamu seorang religius… ayo jawab!”

“Ya… saya seorang… religius,”  balas Hendra terbata-bata.

“Hoho, oke, sekarang pertanyaan sangat paling terakhir saya ajukan untuk Anna, apakah kamu seorang religius?”

Anna tidak menjawab dan terus menatap Aiman yang meracau ke mana-mana dengan panjang-lebar. Sambil tangan menadah laiknya seorang penyair Aiman berceloteh lagi: “Ooh, Bidadariku… kau tak membutuhkan jawaban itu. Dari kerudung jilbabmu aku sudah menebak dari dulu bahwa kau seorang religius… ya, religius banget…. Oh, Bidadariku, wajah cantik di balik kerudung hitammu, benar-benar mengingatkan diriku pada Siti Aisyah… Ratu Bilqis dan Siti Julaekha… yang semuanya siap menyambut kedatanganku di pintu gerbang surga nanti… hahaha!”

Aiman melangkah sempoyongan menuju kulkas berpintu kaca yang menempel di dinding. Ia membuka dan mengambil sebotol juice kesukaannya. Dengan tatapan nanar dan bengis, ia menghujamkan botol juice itu ke muka Hendra, tetapi ia melengos menghindari lemparan itu. Botol itu pun mengenai barisan minyak wangi hingga berantakan di lantai, dan beberapa botol minyak wangi pecah berkeping-keping.

Aiman melangkah sempoyongan menuju Anna seraya berlutut di kakinya, “Tenang saja, Anna, tenanglah kekasihku… nanti akan aku berikan hadiah puluhan hingga ratusan minyak wangi di sana… di alam surga sana… ooh, apakah kau lupa kejadian waktu kau terjatuh dan aku mengobati lukamu, Anna… itu adalah kejadian tak terduga… sangat misterius… itu adalah mukjizat, Anna, apakah kau lupa… bukankah aku ini seorang penyair binatang jalaaang?!”

 Anna menghindar dan berpaling. Hendra mengamit lengan Aiman. Ketika Aiman dalam posisi berdiri, ia ingin menghajar muka Hendra, tetapi kemudian sebuah pukulan keras mendarat di pipi kanannya, yang datang dari arah belakang. Sepintas Aiman melihat lelaki itu berseragam security, yang bertugas di pabrik kosmetik yang terletak di sebelah kiri minimarket.

Sekitar dua jam Aiman mengalami jatuh pingsan. Dan ketika tersadar, tahu-tahu ia sedang berada di klinik terdekat sambil ditemani ibu dan ayahnya, juga Mang Uding yang tersenyum menyeringai di depan pintu. ***

 

Hafis Azhari, kini bergiat di Banten. Karyanya yang telah terbit adalah Perasaan Orang Banten dan Jenderal Tua dan Kucing Belang.

 

Related posts

Leave a Comment

eighteen − 4 =